- Tema: Balada Si Roy Rendez-Vous
- Judul: Home Sweet Home
- Pengarang: Gol A Gong
- Penerbit: PT. Gramedia Jakarrta, 1990
Kini Roy sudah berdiri di muka rumahnya.
Betapa sepi dan mati rumah itu. Cat temboknya sangat kusam dan suram. Kaca-kacanya kotor dan bau. Halamannya semrawut dihiasi daun-daun kering berserakan. Huh! Seperti tidak ada denyut kehidupan di sini!
Seoranga anak kecil membuka pintu. Wajahnya gembira campur keheranan. Ini pasti Opik, bisik si Roy. Anak kecil yang selalu menemani Mama selama aku pergi, bisiknya lagi.
"Mama mana, Pik?"
"Kak Roy?"
Roy tersenyum mengusap rambutnya, "Mama mana?" Dengan gelisah dia masuk ke ruang tengah. Dia merasa di ruangan ini tidak ada sentuhan lembut seorang wanita pada perabot-perabot rumah. Semuanya dibiarkan terlantar. Debu-debu mengotorinya.
"Mama!" panggil Roy cemas. Dia berharap akan mendengar jawaban dari ruang belakang. "Roy pulang, Ma!" dia mencoba sekali lagi sambil lari ke ruang belakang.
Tapi tetap tidak ada jawaban.
"Mama di rumah sakit, Kak," Opik hati-hati sekali bicara. Anak kecil itu menunduk dan berpegangan pada kursi.
Roy terlonjak. Mencekal pundak Opik yang tampak menyesal sekali telah mengatakan sesuatu yang buruk tentang mamanya.
Tanpa berkata-kata lagi dia berlari. Dia berusaha agar bisa berlari lebih cepat lagi. Tapi kakinya seperti terbenam dan ada yang mengisapnya. Dia sudah berlari ke setiap sal. Memasuki dan meneliti pasien-pasiennya, siapa tahu mamanya tergolek di situ.
Dia merasa capek tapi mamanya belum juga ketemu.
Saat itu, dia melihat uwak-nya sedang membaca koran di depan sebuah paviliun. Dia langsung menyerbu dan memeluknya. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis.
"Maafkan Roy, Wak," itu saja yang dikatakannya.
"Sudahlah, jangan cengeng begitu. Yang penting kamu sudah pulang." Uwaknya menariknya ke dekat jendela.
Roy melihat mamanya sedang terbaring nyenyak.
Pelan-pelan si bandel itu membuka pintu. Hati-hati. Dan mengendap-endap mendekati pembaringan. Dia memperhatikan wajah mamanya yang tampak jadi lebih tua ketimbang umurnya. Wajah mamanya kelihatan menyimpan derita yang berkepanjangan. Tapi walaupun begitu, wajah itu tetap berseri-seri memancarkan kemauan untuk terus hidup.
Roy merintih memegang jemari mamanya. Menggenggamnya erat-erat. Mendekapnya ke dadanya. Dia mengecup keningnya perlahan. Air matanya menetes menjatuhi wajah mamanya.
"Roy pulang, Ma," isaknya di telinga mamanya.
Pelan-pelan kelopak mata mamanya terbuka. Wajahnya semakin memancarkan gairah hidup. Di bibirnya kontan terlukis senyum bahagia. Tangannya erat menggenggam jemari anaknya.
Mereka tampak begitu bahagia. Tidak ada bandingannya.
"Mama yakin kamu pasti pulang, Roy." Ada air menetes menelusuri pipinya. "Tadi Mama mimpi ketemu kamu, Roy." Kini mamanya tersenyum.
"Sekarang bukan mimpi, Ma." Roy menghapus air mata itu dengan punggung jari-jarinya.
Mereka berpelukan. Air mata mereka sudah larut bersama. Kerinduan anak-beranak itu pun klimaksnya adalah saat ini. Mereka adalah induk dan anak ayamnya. Busur dan anak panahnya.
Merekalah kebahagiaan abadi itu!
***
Setelah pulang dari perjalanan jauh, pengembaraan yang belum lengkap, si petualang jalanan itu kini dihadapkan pada kenyataan hidup: mamanya sudah beranjak tua dan sakit-sakitan. Juga sekolahnya yang terlantar, dan yang paling menyebalkan: Dewi Venus dibidik seorang pemburu!
Dia sedang memikirkan semuanya.
"Roy," mamanya memanggilnya.
"Ya, Ma." Dia berdiri dan mendekat ke jendela.
"Kamu nggak usah bingung tentang biaya rumah sakit, Roy. Mama punya tabungan kok." Wanita itu meraih tangan anaknya. Dia sudah tampak segar. Dan besok sudah bisa meninggalkan rumah sakit. "Honor karangan-karanganmu, Roy, sebaiknya ditabungkan saja."
"Ya, sebaiknya ditabungkan saja!" Tiba-tiba uwaknya muncul. "Besok, kamu sudah bisa sekolah, Roy," kata uwaknya sambil menyebutkan salah satu sekolah swasta di kota ini.
Roy mengangguk. Dia merasa bergairah lagi ketika menyadari akan duduk di bangku sekolah lagi. Masa remaja memang paling indah. Apalagi plus sekolah, olala, alangkah lebih komplet indahnya!
***
Roy sedang tidur-tiduran di bangku. Angin sore yang bertiup lewat pepohonan di sepanjang sungai di samping rumah sakit, mengelus-elus dan meninabobokannya.
"Halo, Avonturir!" Edi menepuk bahunya. Dia sudah mantan OSIS sekarang. Sudah jadi rakyat biasa lagi. Tidak punya jabatan apa-apa. Tidak punya wewenang apa-apa lagi.
Roy membuka matanya. Tersenyum lebar. "Katanya sama si Toni?"
"Tuh!" Edi menunjuk ke seseorang yang tertatih-tatih menyeret kaki kirinya yang palsu.
"Ayo, Ton!" Roy tersenyum menyuruhnya agar lebih cepat berjalan. "Banyak kemajuan tuh anak," kagum sekali dia. "Dari jauh kayak nggak cacat aja ya, Di?"
Edi mengangguk.
"Aku mulai sekolah lagi besok, Di. Di swasta tentunya.
"Syukurlah."
Edi tampak seperti ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu.
"Ada kabar buruk, Di?" Roy tersenyum.
Edi mau tidak mau tertawa. "Tadi aku ketemu Ani. Dia nitip salam sama kamu."
"Kamu cerita kalau aku sudah pulang?"
Edi hanya tersenyum. Lalu menyerahkan secarik kertas yang disobek sembarangan. Roy meneliti angka-angka yang kelihatannya ditulis tergesa-gesa. Toni baru saja sampai. Dia berkeringat dan kepayahan sambil mengumpat-umpat karena Edi tidak mau menuntunnya.
"Nomor telepon dia, Di?"
"He-eh. Kalau mau ngebel lebih bagus pagi hari. Selagi suaminya kerja."
"Alah, nggak usah ngurusin yang udah punya suami, Roy!" Toni nimbrung.
Roy meninju bahunya.
Tiba-tiba dari radio tempat para perawat jaga terdengar sayup-sayup lagu Jump-nya David Lee Roth. Darahnya selalu saja bergelora setiap mendengar lagu energik semacam ini. Mungkin hanya lagu. Satisfaction-nya Stones saja yang bisa menandingi lagu Van Hallen itu.
Si bandel itu langsung berlari menuju pos jaga, menyambar radio mini itu. Meletakkannya di halaman. Dibesarkannya volume. Dia berjingkrak-jingkrak mengikuti lengkingan gitar yang mengentak-entak tubuhnya. Dia menikmati lagu itu sambil menendangkan kakinya ke sana ke mari. Langkahnya seperti rocker saja. Dia seolah-olah sedang mengentak-entakkan kekesalan dan kejengkelannya. Rock memang kadang kala bisa membuat seorang muda menyalurkan dan melupakan kegelisahannya.
Dan kalau sudah gembira seperti itu, dia lupa dengan sekelilingnya.
"Jump!" teriak si bandel sambil meloncat ke udara.
_______________________________
Judul berikutnya: Rendez Vous.