Home Sweet Home #2

  • Tema: Balada Si Roy Rendez-Vous
  • Judul: Home Sweet Home
  • Pengarang: Gol A Gong
  • Penerbit: PT. Gramedia Jakarrta, 1990
Kini Roy sudah berdiri di muka rumahnya.
Betapa sepi dan mati rumah itu. Cat temboknya sangat kusam dan suram. Kaca-kacanya kotor dan bau. Halamannya semrawut dihiasi daun-daun kering berserakan. Huh! Seperti tidak ada denyut kehidupan di sini!

Seoranga anak kecil membuka pintu. Wajahnya gembira campur keheranan. Ini pasti Opik, bisik si Roy. Anak kecil yang selalu menemani Mama selama aku pergi, bisiknya lagi.

"Mama mana, Pik?"
"Kak Roy?"
Roy tersenyum mengusap rambutnya, "Mama mana?" Dengan gelisah dia masuk ke ruang tengah. Dia merasa di ruangan ini tidak ada sentuhan lembut seorang wanita pada perabot-perabot rumah. Semuanya dibiarkan terlantar. Debu-debu mengotorinya.

"Mama!" panggil Roy cemas. Dia berharap akan mendengar jawaban dari ruang belakang. "Roy pulang, Ma!" dia mencoba sekali lagi sambil lari ke ruang belakang.
Tapi tetap tidak ada jawaban.

"Mama di rumah sakit, Kak," Opik hati-hati sekali bicara. Anak kecil itu menunduk dan berpegangan pada kursi.
Roy terlonjak. Mencekal pundak Opik yang tampak menyesal sekali telah mengatakan sesuatu yang buruk tentang mamanya.

Tanpa berkata-kata lagi dia berlari. Dia berusaha agar bisa berlari lebih cepat lagi. Tapi kakinya seperti terbenam dan ada yang mengisapnya. Dia sudah berlari ke setiap sal. Memasuki dan meneliti pasien-pasiennya, siapa tahu mamanya tergolek di situ.
Dia merasa capek tapi mamanya belum juga ketemu.

Saat itu, dia melihat uwak-nya sedang membaca koran di depan sebuah paviliun. Dia langsung menyerbu dan memeluknya. Dia tidak bisa apa-apa selain menangis.

"Maafkan Roy, Wak," itu saja yang dikatakannya.
"Sudahlah, jangan cengeng begitu. Yang penting kamu sudah pulang." Uwaknya menariknya ke dekat jendela.
Roy melihat mamanya sedang terbaring nyenyak.

Pelan-pelan si bandel itu membuka pintu. Hati-hati. Dan mengendap-endap mendekati pembaringan. Dia memperhatikan wajah mamanya yang tampak jadi lebih tua ketimbang umurnya. Wajah mamanya kelihatan menyimpan derita yang berkepanjangan. Tapi walaupun begitu, wajah itu tetap berseri-seri memancarkan kemauan untuk terus hidup.

Roy merintih memegang jemari mamanya. Menggenggamnya erat-erat. Mendekapnya ke dadanya. Dia mengecup keningnya perlahan. Air matanya menetes menjatuhi wajah mamanya.

"Roy pulang, Ma," isaknya di telinga mamanya.
Pelan-pelan kelopak mata mamanya terbuka. Wajahnya semakin memancarkan gairah hidup. Di bibirnya kontan terlukis senyum bahagia. Tangannya erat menggenggam jemari anaknya.
Mereka tampak begitu bahagia. Tidak ada bandingannya.

"Mama yakin kamu pasti pulang, Roy." Ada air menetes menelusuri pipinya. "Tadi Mama mimpi ketemu kamu, Roy." Kini mamanya tersenyum.
"Sekarang bukan mimpi, Ma." Roy menghapus air mata itu dengan punggung jari-jarinya.

Mereka berpelukan. Air mata mereka sudah larut bersama. Kerinduan anak-beranak itu pun klimaksnya adalah saat ini. Mereka adalah induk dan anak ayamnya. Busur dan anak panahnya.
Merekalah kebahagiaan abadi itu!

***
Setelah pulang dari perjalanan jauh, pengembaraan yang belum lengkap, si petualang jalanan itu kini dihadapkan pada kenyataan hidup: mamanya sudah beranjak tua dan sakit-sakitan. Juga sekolahnya yang terlantar, dan yang paling menyebalkan: Dewi Venus dibidik seorang pemburu!

Dia sedang memikirkan semuanya.
"Roy," mamanya memanggilnya.
"Ya, Ma." Dia berdiri dan mendekat ke jendela.

"Kamu nggak usah bingung tentang biaya rumah sakit, Roy. Mama punya tabungan kok." Wanita itu meraih tangan anaknya. Dia sudah tampak segar. Dan besok sudah bisa meninggalkan rumah sakit. "Honor karangan-karanganmu, Roy, sebaiknya ditabungkan saja."

"Ya, sebaiknya ditabungkan saja!" Tiba-tiba uwaknya muncul. "Besok, kamu sudah bisa sekolah, Roy," kata uwaknya sambil menyebutkan salah satu sekolah swasta di kota ini.

Roy mengangguk. Dia merasa bergairah lagi ketika menyadari akan duduk di bangku sekolah lagi. Masa remaja memang paling indah. Apalagi plus sekolah, olala, alangkah lebih komplet indahnya!

***
Roy sedang tidur-tiduran di bangku. Angin sore yang bertiup lewat pepohonan di sepanjang sungai di samping rumah sakit, mengelus-elus dan meninabobokannya.

"Halo, Avonturir!" Edi menepuk bahunya. Dia sudah mantan OSIS sekarang. Sudah jadi rakyat biasa lagi. Tidak punya jabatan apa-apa. Tidak punya wewenang apa-apa lagi.
Roy membuka matanya. Tersenyum lebar. "Katanya sama si Toni?"

"Tuh!" Edi menunjuk ke seseorang yang tertatih-tatih menyeret kaki kirinya yang palsu.
"Ayo, Ton!" Roy tersenyum menyuruhnya agar lebih cepat berjalan. "Banyak kemajuan tuh anak," kagum sekali dia. "Dari jauh kayak nggak cacat aja ya, Di?"

Edi mengangguk.
"Aku mulai sekolah lagi besok, Di. Di swasta tentunya.
"Syukurlah."
Edi tampak seperti ragu-ragu hendak mengatakan sesuatu.
"Ada kabar buruk, Di?" Roy tersenyum.
Edi mau tidak mau tertawa. "Tadi aku ketemu Ani. Dia nitip salam sama kamu."
"Kamu cerita kalau aku sudah pulang?"

Edi hanya tersenyum. Lalu menyerahkan secarik kertas yang disobek sembarangan. Roy meneliti angka-angka yang kelihatannya ditulis tergesa-gesa. Toni baru saja sampai. Dia berkeringat dan kepayahan sambil mengumpat-umpat karena Edi tidak mau menuntunnya.

"Nomor telepon dia, Di?"
"He-eh. Kalau mau ngebel lebih bagus pagi hari. Selagi suaminya kerja."
"Alah, nggak usah ngurusin yang udah punya suami, Roy!" Toni nimbrung.
Roy meninju bahunya.

Tiba-tiba dari radio tempat para perawat jaga terdengar sayup-sayup lagu Jump-nya David Lee Roth. Darahnya selalu saja bergelora setiap mendengar lagu energik semacam ini. Mungkin hanya lagu. Satisfaction-nya Stones saja yang bisa menandingi lagu Van Hallen itu.

Si bandel itu langsung berlari menuju pos jaga, menyambar radio mini itu. Meletakkannya di halaman. Dibesarkannya volume. Dia berjingkrak-jingkrak mengikuti lengkingan gitar yang mengentak-entak tubuhnya. Dia menikmati lagu itu sambil menendangkan kakinya ke sana ke mari. Langkahnya seperti rocker saja. Dia seolah-olah sedang mengentak-entakkan kekesalan dan kejengkelannya. Rock memang kadang kala bisa membuat seorang muda menyalurkan dan melupakan kegelisahannya.

Dan kalau sudah gembira seperti itu, dia lupa dengan sekelilingnya.
"Jump!" teriak si bandel sambil meloncat ke udara.

_______________________________
Judul berikutnya: Rendez Vous.
Baca selengkapnya

Home Sweet Home #1

  • Tema: Balada Si Roy Rendez-Vous
  • Judul: Home Sweet Home
  • Pengarang: Gol A Gong
  • Penerbit: PT. Gramedia Jakarrta, 1990
rumahku entah dimana
tak kutemukan di sajak-sajak
di matahari, dan di bulan
karena tidurku
di bawah bintang-bintang
jauh di rimba belantara
tenggelam di dasar lautan
mesti pulang kemana
setelah letih mengembara?

(Heri H. Harris)

***
Home-Sweet-Home - Cerita Sekitar KitaSi avonturir jalanan itu mengusap-usap jendela bis yang basah kena hujan, sehingga membentuk
sebuah lingkaran. Dia mengintip lewat lingkaran itu. Melihat lio, tempat pembakaran bata-genteng, yang kini posisinya mulai terjepit rumah dan pabrik. Persawahan yang biasanya melatar-belakangi lio itu, kini sudah jarang kita temui.

Di sepanjang Tangerang-Serang, yang dulu dihiasi sawah menghijau, kini sudah banyak berubah jadi rumah dan pabrik. Bahkan masih kita lihat satu-dua tanah kosong ditancapkan papan pengumuman "TANAH INI AKAN DIJUAL". Mungkin di situ akan jadi rumah dan pabrik lagi. Lantas kalau semua sawah dijadikan bangunan, kita makan apa nanti?

Tiba-tiba bis merayap pelan. Lalu berhenti. Tampak kendaraan lain pun banyak yang berhenti, membuat antrian panjang.
"Ada apa, Pak?" Roy berdiri, melihat ke depan.
Begitu banyak orang berkerumun, pikirnya.
"Ada orang mati!" Kata seseorang.
Roy meloncat turun.

Selayaknyalah kita menghormati orang yang mati untuk penghabisan kali, karena orang itu sudah selesai menjalani hidup. Sudah selesai dengan segala kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Sekarang, orang itu sedang menuju ke "kerajaan"Nya. Membawa segala rupa perbuatan dan tanggung jawabnya.

Berpuluh-puluh orang tampak mengekor ke serombongan orang yang mengusung keranda. Iring-iringan itu melintasi jalan. Mereka sedang mengantar tubuh ke sebuah "rumah" yang jauh, yang diidam-idamkan seluruh insan, karena "rumah" itu terbebas dari nafsu serakah orang-orang yang mengumbar janji dan bayangan menakutkan tentang perang nuklir.

Sebuah rumah peristirahatan abadi! Dimana para dayangnya adalah bidadari. Minumannya adalah sungai-sungai yang mengalir di taman-taman. Dan makanan yang tidak ada habisnya. 
Oh, rumah idaman yang hanya ada di angan-angan!

Tiba-tiba saja seperti ada yang menyentak dada si Roy. Bagai aliran listrik. Menyengat dan menakutkan. Ya, dia merasa ngeri sekali melihat iring-iringan kematian itu.

Si bandel kini ingat rumahnya. Ingat tiang-tiang yang menyangga atapnya. Ingat tanaman segar yang meniupkan hawa sejuk dari halaman. Pagar yang membatasi dari hingar-bingar dunia luar. Dan orang-orang yang berlindung di dalamnya dari ganasnya alam.

I am home, Mama! Teriak batinnya. Oh, betapa dia sudah rindu ingin memeluk dan mencium kening mamanya. Menagantarkan jahitan-jahitan ke para langganannya. Dan memijiti pundak mamanya setelah letih menjahit.

Bis memasuki terminal, yang dimana-mana kini letaknya selalu di pinggiran kota. Tambah ramai saja terminal ini. Bis-bis yang keluar-masuk diparkir begitu semrawut. Apalagi pintu gerbangnya persis di persimpangan, sehingga kemacetan sering merepotkan para polisi (biar ada kerjaan). Ditambah lagi dengan para pelajar dari luar kota yang ikut membumbui kesemrawutan terminal ini.

Roy pelan-pelan turun. Seluruh tubuhnya bergetar. Angin sore manampar-nampar jiwanya. Ada sesuatu yang asing menyelinap dan merembesi tubuhnya begitu melihat awan hitam lebat menggantung di langit.

Langkah kakinya jadi sangat tergesa. Dia sedang menuju rumahnya. Menuju di mana dia menghabiskan hidup bersama mamanya. Menuju pelukan dan kasih sayang mamanya. Menuju semuanya. Harpannya.

"Pulang kemping nih yee," ledek dua gadis yang baru pulang sekolah sore. Mereka manis-manis bagai permen, penghias toples-toples di setiap toko. Menyenangkan memang jika bisa mengulum permen itu.

Roy mengedipkan matanya. Untuk intermezo dia memang menyukai permainan kecil di jalan seperti tadi.
"Abis naik gunung ya?" Kata yang paling centil.

Roy mengangguk.
"Gunung apa?" yang memakai bertel nimbrung.
"Gunung kembar punya kalian!" Si bandel noraknya kumat. Dia melompat ke angkutan kota. Tertawa ngakak sambil mengacungkan jari tengahnya.
"Sialan!" Si centil mengacungkan jari tengahnya.
"Kuwalat, kamu!" Si bertel menimpali.
Roy sudah tidak menggubris. Dia kini sedang membayangkan rumahnya berada di sebuah taman indah. Ada kupu-kupu aneka warna. Bunga-bunga. Ikan-ikan yang berloncatan gembira. Dan burung-burung dengan cericitnya yang merdu di pohon-pohon. Dan mamanya yang tersenyum bahagia.

Rindunya semakin meletup-letup.
Di depan mesjid kota, semua kendaraan berhenti, karena terjebak oleh kerumunan orang. Ada iring-iringan kematian lagi! Dia terhenyak. Buru-buru dia menyeret ranselnya. Berlari-lari menyibak kerumunan orang. Dia berusaha menerobos orang-orang sampai ke rombongan paling depan. Dia berusaha terus walaupun orang-orang menghalangi dan ranselnya tercecer. Dia berhasil sampai ke rombongan pengusung jenazah.

Dia melihat keranda itu diselimuti kain serba putih. Ujungnya yang menjuntai melambai-lambai kena tiup angin. Dia berusaha meraihnya, tapi orang-orang menghalaunya dengan kasar. Roy berusaha lagi. Dan dia meronta-ronta ketika orang-orang memberangusnya.

"Lepaskan, lepaskan!" teriaknya panik. Dia terus meronta, bahkan melawan, hingga orang-orang kebingungan melihatnya. "Mama!" teriaknya tambah panik.
Dia merintih sendirian.

Ada seseorang yang mengenalnya. Kawan sekelasnya. "Kenapa kamu, Roy?" katanya membimbing si bandel ke tempat yang agak terpisah.

"Mamaku, mamaku!" Roy masih belum terlepas dari bayangan menakutkan itu.
"Ada apa denganmu, Roy?" Kawannya mengguncang-guncangkan tubuhnya. "Itu bukan mamamu, Roy!"

Roy tersentak. Dia menatap kawannya. Lalu duduk begitu saja dan bersandar pada batang pohon asam. Merenung. Menyembunyikan wajahnya di sela-sela kututnya.

"Baru datang, Roy?" Kawannya menyerahkan ranselnya.
Roy mengangguk pelan.
"Setiap Edi dapet surat dari kamu, kamis sekelas rame-rame ikut ngebaca. Sebetulnya kami ingin membalas surat-surat kamu, Roy. Tapi, kamu tidak pernah punya alamat tetap. Jadi mesti kami kirimkan kemana?" Budi tersenyum simpul.

Roy tidak menanggapi. "Kamu tahu keadaan mamaku sekarang, Bud?" nadanya cemas.
Budi menyodorkan rokoknya. Tapi Roy tidak mencomotnya. Budi tampak gelisah dan kikuk sekali ketika menyulut rokok, karena Roy memandanginya terus.

"Kamu menyembunyikan sesuatu, Bud!"
Budi semakin kikuk.

"Katakan, Bud! Ayolah!" Gelisah sekali si Roy.
"Kamu memang nggak pernah sabaran, Roy!" Budi mulai kesal.
"Jangan bertele-tele, Bud!"
"Oke, tentang mamamu, sungguh, aku nggak tahu. Tapi jangan kaget, dua bulan yang lalu si Ani kawin, Roy."

Roy tertawa hambar. "Apa hubungannya berita perkawinan si Ani sama aku, heh?" dia berubah berang dan panik. "Aku nanya tentang mamaku, Bud!" Dia mencekal bahu kawannya. Menatapnya. Seperti mencari kebenaran pada matanya.

Budi berusaha tertawa. "Jangan munafik, Roy. Semua orang tahu kok kalau si petualang itu selalu merindukan bidadarinya. Cerita-cerita kamu mewakili semuanya, Roy!"
Dewi Venus kawin? batinnya gelisah. Betulkah mulut si Budi sialah itu? Kenapa mesti kabar buruk dulu yang aku terima? batinnya memprotes.
Begitu cepat segalanya berubah.
Roy kini hanya bisa menghitung langkah, kegelisahan, dan kesepian yang merejamnya nanti. Lantas dia membayangkan dirinya yang hendak pulang untuk mereguk kebahagiaan bersama mamanya, tapi sementara itu ada sebagian orang dari desa-desa yang meninggalkan rumahnya untuk mengadu nasib di kota, berimpitan di kolong jembatan, padahal rumah mereka di desa amatlah nyaman. Memunguti remah-remah nasi untuk makan, padahal kebun-kebun mereka di desa melimpah-ruah menyediakan makan.

Kini Roy sudah berdiri di muka rumahnya...
....

bersambung... [Home Sweet Home #2]
Baca selengkapnya

Mengintip kembali sosok Gol A Gong

Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong (lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 15 Agustus 1963; umur 50 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Ia adalah pendiri Rumah Dunia di Serang, Banten. Saat ini Gol A Gong menjabat sebagai Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Indonesia. Tulisan-tulisannya telah dimuat di berbagai media massa dan terbit berupa buku.

Gol A Gong adalah nama pena dari Heri Hendrayana Harris. Ia lahir dari seorang ayah bernama Harris dan Ibu bernama Atisah. Pada 1965 ia bersama dengan orangtuanya meninggalkan kampung halamannya Purwakarta menuju ke Serang, Banten. Bapaknya adalah guru olahraga sedangkan ibunya seorang guru di sekolah keterampilan putri, Serang. Mereka tinggal di sebuah rumah di dekat alun-alun Serang. Sekarang, nama samarannya dikembalikan ke penulisan pertama yaitu Gol A Gong. Nama Gol itu diberikan oleh ayahnya sebagai ungkapan syukur atas karyanya yang diterima penerbit. Serta Gong merupakan harapan dari ibunya agar tulisannya dapat menggema seperti bunyi alat musik gong. Sedangkan A diartikan sebagai "semua berasal dari Tuhan". Maka, nama Gol A Gong dimaknai sebagai "kesuksesan itu semua berasal dari Tuhan".

Pada umur 11 tahun Gol A Gong (dulu ditulis Gola Gong) kehilangan tangan kirinya. Itu terjadi saat dia dan teman-temannya bermain di dekat alun-alun Kota Serang. Saat itu sedang ada tentara latihan terjun payung. Kepada kawan-kawannya dia menantang untuk adu keberanian seperti seorang penerjun payung. Uji nyali itu dilakukan dengan cara loncat dari pohon di pinggir alun-alun. Siapa yang berani meloncat paling tinggi, dialah yang berhak menjadi pemimpin di antara mereka. Kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi itu tidak membuatnya sedih. Bapaknya menegaskan kepadanya: "Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang dan lupa bahwa diri kamu itu cacat".

Pada umur 33 tahun, dia menikahi Tias Tatanka, gadis asal Solo. Dari pernikahan ini mereka memiliki anak; Nabila Nurkhalisah (Bela), Gabriel Firmansyah (Abi), Jordi Alghifari (Odi), dan Natasha Azka Nursyamsa (Kaka). Bela yang saat ini kelas 2 di SMP Peradaban Serang (2012) meneruskan kiprah Ayahnya. Novelnya yang tergabung dalam KKPK (kecil-kecil punya karya) Dar!Mizan laris manis di pasaran. Sementara Abi, di Kelas 1 SMP Al Mahah Al Ain, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sangat menyukai gambar sehingga kerap menjadi desain grafis sampul buku anak-anak di Rumah Dunia, sanggar yang didirikan Gol A Gong.

Tentang Rumah Dunia

Impiannya sejak remaja untuk memiliki gelanggang remaja terwujud dengan didirikannya komunitas kesenian Rumah Dunia pada tahun 1998. Sejak tahun 2000, Komunitas ini berada di atas tanah 1000 m2 di belakang rumahnya di Komplek Hegar Alam, Ciloang Serang, Banten. Komunitas semacam ini adalah impiannya beserta temannya Toto ST Radik, dan (alm) Rys Revolta. Pada tahun 2008, Gol A Gong mengajak orang-orang di seluruh dunia yang peduli literasi untuk membebaskan lahan seluas 3000 m2. Kini pada 2012, lahan itu berhasil dibebaskan dan di atasnya Gelanggang Remaja Rumah Dunia megah berdiri. [ally]
Baca selengkapnya

Purnama di balik cadar #2


Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya. 

Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan. 

Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun. 

"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London. 

Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London. 

Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku. 

Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka. 

Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung. 

Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?'' 

''Ya, saya sendiri. Ini siapa?'' 

''Ini Salma.'' 

''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina." 

"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!" 

Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya![...]

Kairo-Jakarta, 2002

Baca selengkapnya

Purnama di balik cadar #1


Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya. 

Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.

''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.

''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.

''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''

''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''

''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.'' 

Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo. 

Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan. 

Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku. 

''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.

Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku. 

Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.

''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.

''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.

''Sedang cari buku apa?''

''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''

Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.

''Mas Imran....''

Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu. 

Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.

Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.[be continued]
Baca selengkapnya

Kepala Desa Dan Kekuasaannya Ditelanjangi

kades_karikatur
Cerita ini adalah cerita seorang Kepala Desa yang pernah menjabat sekitar dua periode yang lalu. Tepatnya kira-kira 10 tahun yang lalu. Pak Bem. Iya namanya adalah Pak Bem (samaran). Dia adalah seorang kepala desa yang pada saat ini sedang menjabat di desa sebelah. Desa itu terletak kurang lebih 3 km dari desa saya. 

Sepuluh tahun yang lalu beliau adalah seorang kepala desa yang memenangkan atas pencalonannya di desa bersangkutan. Entah apapun yang terjadi pada saat itu sehingga ia bisa memenangkan dalam ajang pemilu level terbawah ini (level desa), yang pasti ia adalah pemenangnya.

Dalam pemerintahannya pada saat itu, ia bukan tergolong seorang kepala desa yang pandai dalam memerintah dan memajukan desanya, dengan bukti semenjak itu belum pernah ada gebrakan atau kemajuan yang dapat dirasakan oleh para rakyat. Desa statis, pemerintahan vacum, dan rakyatpun merasa seperti tidak ada seorang pemimpin yang memerintahnya. 

Salah satu cerita yang menghebohkan pada saat itu adalah setelah ia terpilih menjadi kepala desa dan berjalan selama dua tahun semenjak pelantikannya. Kala itu, ia menceraikan istrinya, sering keluar kantor tanpa sepengetahuan perangkat-perangkat yang lain. Yang lebih menghebohkan lagi bahwa Pak Bem sering berjudi, minum minuman keras, bermain perempuan.

Dua tahun ia menjadi kepala desa, akhirnya rakyatpun sudah tidak betah lagi dengan keadaan seperti ini. Merekapun beramai-rami melorot Pak Bem dari jabatan kepala desa. Akhirnya, pemerintahan desa tersebut dijalankan oleh sekretaris desa hingga masa pilkades selanjutnya.

Pilkades pun telah tiba saatnya. Dengan jago tunggal pemilihan pun berjalan dengan baik dan sempurna. Kepala desa baru sudah muncul. Dialah Pak Mo (samaran). Pak Mo cukup piawai dalam pemerintahan karena ia adalah seorang anggota TNI AD. Kemajuan desa pun meningkat dengan pemerintahan Pak Mo, sehingga ia pun mampu menjabat dua kali periode pemerintahan yang akhirnya masa jabatan pun habis dengan kemajuan-kemajuan yang cukup pesat dan bisa dipertanggungjawabkan. Lain dengan kepala desa yang sebelumnya.

Pasca Pak Mo, Pak Bem muncul kembali. Ia pun terpilih kembali menjadi kepala desa saat ini. Namun keberadaannya hanya dianggap sebagai duplikasi kepala desa, "adanya seperti ketiadaannya". Keadaan Pak Bem pun tidak seperti 10 tahun yang lalu, justru malah semakin parah. Dia sudah tidak punya rumah ataupun tanah atas nama pribadi. Rumah yang sekarang ia tempati adalah rumah almarhum orang tuanya yang sudah menjadi bagian dari saudara-saudaranya. Istri keduanya pasca perceraian dengan yang pertama, saat ini pun minta cerai. Merekapun bercerai. Pak Bem hanya sebatang kara, tanpa istri dan tempat tinggal.

Ia memang berstatus kepala desa di kantornya tetapi bukan pemimpin rakyatnya, sebab rakyat tidak pernah lagi menganggapnya kepala desa meskipun jabatan itu melekat padanya. Kehormatan Pak Bem saat ini sebagai kepala desa hanya sebatas pada seragamnya saja, bukan kehormatan harga dirinya. Harga dirinya telah hancur sejak sepuluh tahun yang lalu, ditambah lagi perilaku yang kurang bagus selama beberapa kurun waktu terakhir pra pilkades.

Pak Bem menyandang pakaian dan kedudukan terhormat tai tidak pernah hidup terhormat. [...]


> Pesan tersirat: Amanah sebagai pemimpin dan kekuasaan adalah amanah Allah dan kehormatan harga diri di mata rakyat yang dipimpin. Jika tidak dijaga dengan baik dan niat atas nama Allah, semuanya hanya sebagai pakaian semu yang terlihat menutupi tubuh tapi sebenarnya ia tetap telanjang.
Baca selengkapnya

Selvi dan kesombongannya

Selvi, anak perempuan yang usianya telah menginjak dewasa dari keluarga yang pas-pasan. Kehidupan sehari-harinya adalah berjualan kue bersama ibunya dan kedua adiknya (ayah telah tiada). Ia tinggal di rumah kontrakan yang sangat sederhana. Ia merasa malu dengan kehidupannya dan ibunya yang miskin, serba kekurangan. Dengan perasaannya yang demikian ia pun sering memaki-maki ibunya, menghujat, meminta tanggung jawab ibunya, "mengapa dilahirkan dengan keadaan miskin?".
 
Selvi, sekarang sudah menjadi sukses tapi ia sombong. Ia menjadi seorang penyanyi setelah berhasil menjadi pemenang lomba nyanyi pada suatu Kontes Terbuka. Ia pun terkenal dan bergelimang harta atas kesuksesannya menjadi penyanyi kondang.
 
Ibunya, seorang ibu yang selalu perhatian kepada anak-anaknya. Ia tidak pernah lupa mengingatkan Selvi dan adik-adiknya untuk selalu sholat 5 waktu. Namun Selvi tidak pernah menggubrisnya, bahkan malah memaki-maki ibunya yang selalu mengingatkannya akan sholat dan bersyukur kepada Allah atas kesuksesannya itu. Sang ibupun meratap sedih melihat keadaan Selvi. Begitu dan selalu begitu.
 
Pada suatu ketika, musibah datang kepada Selvi. Ia mendapatkan tawaran 'manggung' pada suatu acara besar. Tiba-tiba, suara Selvi serak dan menghilang, ia pun harus mengakhiri karirnya dengan kejadian ini, setelah ia masuk ke RS dan dokter memfonis bahwa ia menjadi bisu dan menderita kelumpuhan. Kesuksesan dan karir Selvi yang bergelimang harta pun "HANCUR". (innalillahi wainna ilahi rajiun)
 
Selvi seorang perempuan sukses, berkarir, kaya dan bergelinag harta, kini menjadi Selvi yang bisu, lumpuh, dan tidak berguna.
  
Penyesalan Selvi, ....

Pesan yang tersirat :
> Allah akan berbuat apapun sekehendak-Nya. Menjadikan sukses, kaya, miskin, dan sengsara bagi seseorang atau bahkan mencabutnya kembali dari seseorang tanpa permisi terlebih dahulu kepada seseorang tersebut. (sukses, kaya, miskin, dan sengsara itulah ujian-Nya dan takdir itulah hak ferogative Allah).
> Kesombongan atas kesuksesan bisa mencabut kesuksesan itu sendiri secara perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba (atas semua kehendak Allah - Allahu Akbar)
Baca selengkapnya