Cerita ini adalah cerita seorang Kepala Desa yang pernah menjabat sekitar dua periode yang lalu. Tepatnya kira-kira 10 tahun yang lalu. Pak Bem. Iya namanya adalah Pak Bem (samaran). Dia adalah seorang kepala desa yang pada saat ini sedang menjabat di desa sebelah. Desa itu terletak kurang lebih 3 km dari desa saya.
Sepuluh tahun yang lalu beliau adalah seorang kepala desa yang memenangkan atas pencalonannya di desa bersangkutan. Entah apapun yang terjadi pada saat itu sehingga ia bisa memenangkan dalam ajang pemilu level terbawah ini (level desa), yang pasti ia adalah pemenangnya.
Dalam pemerintahannya pada saat itu, ia bukan tergolong seorang kepala desa yang pandai dalam memerintah dan memajukan desanya, dengan bukti semenjak itu belum pernah ada gebrakan atau kemajuan yang dapat dirasakan oleh para rakyat. Desa statis, pemerintahan vacum, dan rakyatpun merasa seperti tidak ada seorang pemimpin yang memerintahnya.
Salah satu cerita yang menghebohkan pada saat itu adalah setelah ia terpilih menjadi kepala desa dan berjalan selama dua tahun semenjak pelantikannya. Kala itu, ia menceraikan istrinya, sering keluar kantor tanpa sepengetahuan perangkat-perangkat yang lain. Yang lebih menghebohkan lagi bahwa Pak Bem sering berjudi, minum minuman keras, bermain perempuan.
Dua tahun ia menjadi kepala desa, akhirnya rakyatpun sudah tidak betah lagi dengan keadaan seperti ini. Merekapun beramai-rami melorot Pak Bem dari jabatan kepala desa. Akhirnya, pemerintahan desa tersebut dijalankan oleh sekretaris desa hingga masa pilkades selanjutnya.
Pilkades pun telah tiba saatnya. Dengan jago tunggal pemilihan pun berjalan dengan baik dan sempurna. Kepala desa baru sudah muncul. Dialah Pak Mo (samaran). Pak Mo cukup piawai dalam pemerintahan karena ia adalah seorang anggota TNI AD. Kemajuan desa pun meningkat dengan pemerintahan Pak Mo, sehingga ia pun mampu menjabat dua kali periode pemerintahan yang akhirnya masa jabatan pun habis dengan kemajuan-kemajuan yang cukup pesat dan bisa dipertanggungjawabkan. Lain dengan kepala desa yang sebelumnya.
Pasca Pak Mo, Pak Bem muncul kembali. Ia pun terpilih kembali menjadi kepala desa saat ini. Namun keberadaannya hanya dianggap sebagai duplikasi kepala desa, "adanya seperti ketiadaannya". Keadaan Pak Bem pun tidak seperti 10 tahun yang lalu, justru malah semakin parah. Dia sudah tidak punya rumah ataupun tanah atas nama pribadi. Rumah yang sekarang ia tempati adalah rumah almarhum orang tuanya yang sudah menjadi bagian dari saudara-saudaranya. Istri keduanya pasca perceraian dengan yang pertama, saat ini pun minta cerai. Merekapun bercerai. Pak Bem hanya sebatang kara, tanpa istri dan tempat tinggal.
Ia memang berstatus kepala desa di kantornya tetapi bukan pemimpin rakyatnya, sebab rakyat tidak pernah lagi menganggapnya kepala desa meskipun jabatan itu melekat padanya. Kehormatan Pak Bem saat ini sebagai kepala desa hanya sebatas pada seragamnya saja, bukan kehormatan harga dirinya. Harga dirinya telah hancur sejak sepuluh tahun yang lalu, ditambah lagi perilaku yang kurang bagus selama beberapa kurun waktu terakhir pra pilkades.
Pak Bem menyandang pakaian dan kedudukan terhormat tai tidak pernah hidup terhormat. [...]
Pak Bem menyandang pakaian dan kedudukan terhormat tai tidak pernah hidup terhormat. [...]
> Pesan tersirat: Amanah sebagai pemimpin dan kekuasaan adalah amanah Allah dan kehormatan harga diri di mata rakyat yang dipimpin. Jika tidak dijaga dengan baik dan niat atas nama Allah, semuanya hanya sebagai pakaian semu yang terlihat menutupi tubuh tapi sebenarnya ia tetap telanjang.
0 komentar:
Posting Komentar