You are here:Home » Cerita Remaja dan Dewasa » Purnama di balik cadar #2

Purnama di balik cadar #2


Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama, pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku menunggu kabar kepulangannya. 

Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah, ternyata bukan. 

Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup' dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara, bahkan dengan paspor palsu sekalipun. 

"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?" tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London. 

Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat. Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran London. 

Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung, terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina, seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London. Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah..., Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku. 

Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya. Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk, AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya melakukan perang secara terbuka. 

Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung. 

Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?'' 

''Ya, saya sendiri. Ini siapa?'' 

''Ini Salma.'' 

''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina." 

"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!" 

Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin kehilangan purnama di balik cadarnya![...]

Kairo-Jakarta, 2002

0 komentar:

Posting Komentar