- Penulis: Ahmadun Y Herfanda
- Sumber: Kumpulan Cerita Pendek
- Ilustrasi-gambar: Cerita Sekitar Kita
Setelah kepergiannya, aku benar-benar merasa kehilangan. Ini agak
aneh, karena aku belum lama mengenalnya dan baru dua kali sempat
berbicara. Itupun hanya beberapa menit saja. Wajahnya yang ditutup cadar
pun belum kukenal sepenuhnya. Yang kukenal baru mata beningnya yang
kebiruan bagai telaga, suaranya yang lembut, kecerdasannya, dan misteri
cahaya di kepalanya. Selebihnya, barulah ilusi kecantikan di balik
cadarnya. Ah, mungkin aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama,
pikirku. Aku sangat merindukannya. Berhari-hari, bermingu-minggu, aku
menunggu kabar kepulangannya.
Kekhawatiranku memuncak, ketika terjadi penangkapan terhadap
beberapa demonstran anti-AS di halaman masjid Al Azhar -- dua di
antaranya mahasiswi bercadar asal Indonesia. Aku khawatir Salma ada di
antara mereka. Siapa tahu, ia pulang secara diam-diam dan langsung ikut
demonstrasi. Apalagi, tampak pada layar televisi Mesir yang
menyiarkannya, salah seorang gadis bercadar yang tertangkap itu sangat
mirip Salma. Aku segera meluncur ke kantor polisi. Tapi, syukurlah,
ternyata bukan.
Yang membuatku lebih khawatir adalah ketika terjadi penangkapan
terhadap para demonstran anti-AS di London sehari kemudian, karena di
televisi disebut-sebut bahwa beberapa di antaranya adalah 'penyusup'
dari Afrika Utara. Aku yakin Salma ada di sana. Jika benar ia memang
aktifis internasional, dengan gampang ia akan masuk ke suatu negara,
bahkan dengan paspor palsu sekalipun.
"Tolong, Pak, mohon informasi, apakah di antara yang tertangkap
tadi ada yang namanya Salma Audina, mahasiswi Al Azhar asal Bandung?"
tanyaku pada salah seorang staf KBRI di London.
Aku ingin segera tahu apakah di antara yang ditangkap itu ada
Salma. Tapi, tidak segera mendapat jawaban, karena pihak KBRI belum
mendapat laporan resmi dan baru akan dicek ke kepolisian setempat.
Syukurlah, tiga hari kemudian aku mendapat jawaban bahwa tidak ada nama
Salma Audina pada daftar nama pengunjuk rasa yang ditangkap. Juga tidak
ada penyusup dari Mesir, selain dua gadis berdarah Arab kelahiran
London.
Tetapi, berita yang paling menakutkan tiba-tiba datang dari
Afghanistan. Sebuah toko buku di Kabul, yang sedang ramai pengunjung,
terkena ledakan bom, 11 orang tewas dan dua di antaranya gadis asal
Indonesia. Dengan rasa was-was aku segera mencari nama gadis-gadis itu
pada berita-berita di surat kabar Mesir, barangkali ada nama gadis
bercadar itu di sana. Dan, betul, menurut kantor berita AFP yang dikutip
beberapa surat kabar Mesir, salah satu korbannya adalah Miss Audina,
seorang mahasiswi asal Indonesia, yang baru tiga hari tiba dari London.
Pada foto yang terpampang, cadar Salma sudah terkoyak. Mata birunya
terkatup di bawah garis jilbab yang hampir menyentuh alisnya. Ada
bercak-bercak darah pada pipi, mulut dan hidungnya. "Innalillah...,
Salma, kenapa kau begitu cepat pergi...," gumamku.
Aku merasa sangat terpukul membaca berita itu. Rasanya seperti
ada yang hilang dari diriku: harapan. Ya, harapan untuk memilikinya.
Sebagai sesama perantau yang mencari ilmu di negeri orang, tentu sudah
sewajarnya aku merasa berduka. Apalagi ia mati konyol akibat teror
bersenjata yang membabi buta. Aku tidak tahu, siapa yang harus dikutuk,
AS yang memperlakukan dunia secara tidak adil, atau Osamah ben Laden
yang memilih teror sebagai jalan penyelesaian karena ketidakberdayaannya
melakukan perang secara terbuka.
Tapi, yang kurasakan saat itu benar-benar lebih dari sekadar
berduka. Aku seperti merasa kehilangan seorang kekasih atau keluarga
terdekat, dan hatiku terasa sangat tersayat. Segera kuhubungi imam
masjid Al Azhar untuk melaksanakan shalat ghaib bagi Salma. Kawan-kawan
mahasiswa dan alumni Al Azhar asal Indonesia pun kukumpulkan untuk
melaksanakan shalat ghaib dan mengirim doa bagi arwahnya. Atas nama KBRI
kukirim juga telegram bela sungkawa kepada keluarganya di Bandung.
Dan, karena telegram itu, tiba-tiba telepon di mejaku berdering. ''Assalamu 'alaikum. Bisa bicara dengan Pak Imran?''
''Ya, saya sendiri. Ini siapa?''
''Ini Salma.''
''Aduh Salma. Kawan-kawan mengira kamu tewas jadi korban ledakan di Kabul. Sebab, ada korban yang namanya Audina."
"Itu bukan Salma. Saya baik-baik saja di Bandung. Saya tak jadi ke Kabul . Minggu lalu saya dari London langsung ke Bandung .... Salam ya, untuk kawan-kawan. Saya jadi pindah kuliah ke Jerman. Besok pagi saya berangkat ke Berlin , tidak sempat mampir Kairo...!"
Aku merasa lega karena Salma masih hidup. Tapi tetap saja merasa
kehilangan, karena kepindahan kuliahnya itu. Rasanya aku harus terbang
ke Berlin juga untuk meraih cintanya. Sungguh, aku tidak ingin
kehilangan purnama di balik cadarnya![...]
Kairo-Jakarta, 2002
0 komentar:
Posting Komentar