You are here:Home » Cerita Remaja dan Dewasa » Purnama di balik cadar #1

Purnama di balik cadar #1


Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat, menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi kepalanya. 

Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar, Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai, dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah hijaunya.

''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.

''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.

''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''

''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''

''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.'' 

Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo. 

Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh cintanya pada Tuhan. 

Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya. Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul sepenuhnya saat berbicara,' pikirku. 

''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.

Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku. 

Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus. Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.

''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.

''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.

''Sedang cari buku apa?''

''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''

Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.

''Mas Imran....''

Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu. 

Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ? Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom. Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan kelompok-kelompok Islam garis keras.

Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu. Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan rencana sendiri.[be continued]

0 komentar:

Posting Komentar