- Penulis: Ahmadun Y Herfanda
- Sumber: Kumpulan Cerita Pendek
- Ilustrasi-gambar: Cerita Sekitar Kita
Aku seperti melihat cahaya di balik cadar. Cahaya yang begitu kuat,
menembus kain hijau lumut penutup wajah gadis semampai itu. Karena
kuatnya, kadang-kadang cahaya itu menelan cadar sang gadis dan
menyembullah bulatan bercahaya benderang bagai purnama menyelubungi
kepalanya.
Hari itu, gadis bercadar tersebut berada di tengah diskusi
tentang emansipasi wanita di Ibnu Sina Auditorium, Universitas Al Azhar,
Kairo. Sejak memasuki ruang diskusi, ia sudah memancarkan pesona
tersendiri. Ia tampak tinggi semampai, jauh lebih tinggi dari rombongan
gadis-gadis berjilbab yang masuk bersamanya. Cara jalannya juga gemulai,
dengan sepatu berhak tinggi yang kadang-kadang menyembul di bawah jubah
hijaunya.
''Dia Salma Audina, dari Bandung,'' kata kawan di sebelahku, seorang mahasiswa Al Azhar, tahu aku memperhatikan gadis itu.
''Apa dia aktifis Ihwanul Muslimin, Darul Arqam, Mujahidin, atau kelompok garis keras lain,'' tanyaku.
''Kabarnya memang aktifis, tapi tidak jelas dari kelompok mana. Dia kuliah S-2 di filsafat Al Azhar. Baru sebulan di sini.''
''Tapi kenapa pakai cadar? Anak-anak filsafat biasanya liberal.''
''Aku pernah tanyakan itu padanya. Dia bilang, itu cara dia melindungi dirinya dari tatapan mata lapar laki-laki.''
Melihat matanya yang mempesona, dengan bulu-bulu mata yang
lentik, kubayangkan wajah gadis itu sangat cantik. Tapi, bagaimana jika
bibirnya sumbing, atau pipinya bertembong? Ah, apa peduliku. Aku memang
sedang mencari calon istri, karena sudah terlalu lama membujang. Kuliah
pasca-sarjanaku sudah selesai, dan gajiku sebagai kabag pendidikan KBRI
sudah cukup untuk hidup berumah tangga di Kairo. Tapi, mengapa aku mesti
repot menebak-nebak wajah di balik cadar itu? Mahasiswi Indonesia yang
cantik, dan tidak bercadar, cukup banyak di Kairo.
Ketika aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, tiba-tiba nama
Salma disebut oleh moderator sebagai salah seorang penanya yang
dipersilakan maju ke depan. Benar, gadis bercadar itu dengan cekatan
berdiri dan melangkah ke depan. Dan, masya Allah , suaranya
merdu sekali, tapi tetap tangkas menyusun pemikiran-pemikirannya dalam
kalimat-kalimat yang jelas. Dan, ternyata pemikiran-pemikirannya sangat
liberal, khas anak filsafat. Ia gugat sistem poligami, yang secara abadi
menempatkan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Ia gugat kultur
Islam yang masih menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan. Ia sebut
contoh-contoh kaum perempuan yang menjadi korban laki-laki. Ia sebut Perempuan di Titik Nol
Nawal El Sadawi, ia sebut Kartini, ia sebut pula Rabiah al Adawiyah
yang tak sudi dijajah laki-laki dan lebih memilih menyerahkan seluruh
cintanya pada Tuhan.
Saat itulah aku mulai melihat ada purnama di balik cadarnya.
Cahaya itu mula-mula samar-samar, lama-lama makin jelas, seirama
tekanan-tekanan pemikirannya, dan akhirnya menyelubungi seluruh
kepalanya. 'Ah, mungkin aura kecerdasannya begitu kuat, sehingga muncul
sepenuhnya saat berbicara,' pikirku.
''Aku melihat purnama di balik cadarmu,'' kataku seusai diskusi, setelah menghampirinya di lobi auditorium.
Gadis semampai itu tidak menjawab. Hanya mata indahnya menatapku, melempar sejuta pertanyaan. Tapi, aku yakin, perempuan cerdas itu bisa meraba maksudku.
Suatu pagi, aku bertemu lagi dengan gadis bercadar itu. Kulihat
dia sedang mancari-cari buku pada rak buku filsafat perpustakaan kampus.
Dan, memang ke rak itu pula tujuanku.
''Hai, gadis yang punya purnama,'' tegurku.
''Hai, Pak Imran,'' Dia tampak agak terkejut. Tapi, aku bersyukur, dia ingat namaku.
''Sedang cari buku apa?''
''Buku Annemarie Schimmer. Aku suka baca buku-buku tasawuf.''. ''Bagus itu.''
Kami lantas sama-sama asyik mencari buku. Salma memutari rak untuk menemukan yang dicarinya. Aku sendiri asyik membuka-buka beberapa buku sambil tetap berdiri di sisi rak.
''Mas Imran....''
Tiba-tiba suara Salma mengejutkanku. Ia sudah ada di sebelahku. Aku menoleh dan kami saling berpandangan beberapa saat. Ada pesona yang luar biasa di mata birunya yang bening bagai telaga. Sesaat jiwaku seperti berenang di kesejukannya. Kemudian seperti ada getaran lembut yang menyusup ke hatiku, mungkin juga hatinya, karena ia lantas menunduk tersipu.
Pertemuan kami cukup singkat, karena dia segera pamit untuk
siap-siap pergi ke Jerman guna mendaftar kuliah di sana. Kemudian, ia
mau ke London dan ke Afghanistan . Tapi, mengapa ke Afghanistan ?
Bukankah di sana sedang terjadi pengeboman terhadap markas Alkaidah oleh
AS. Ibukota Afghanistan, Kabul, juga terancam jadi sasaran bom.
Perburuan terhadap Osamah ben Laden sedang digencarkan oleh AS beserta
sekutunya. Juga kampanye anti-terorisme dengan menyudutkan
kelompok-kelompok Islam garis keras.
Tiba-tiba aku mengkhawatirkan keselamatan gadis bercadar itu.
Apalagi, pasca-tradegi menara kembar WTC, umat Islam dimusuhi di banyak
negara kulit putih. Dengan pakaian seperti itu, Salma pasti gampang
menjadi sasaran. Apalagi ia mau pergi ke Afghanistan, bisa-bisa kena
tuduhan ada hubungan dengan jaringan Alkaidah. Tapi, bagaimana aku dapat
mencegahnya, karena dia 'manusia bebas' yang memiliki pikiran dan
rencana sendiri.[be continued]
0 komentar:
Posting Komentar